Laporan ; Lemens Kodongan.
Jakarta, eksposenews- Duskusi publik dengan judul ” Menakar Masa Depan Batam Pasca Pengalihan BP Batam” dilaksanakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bertempat di hotel Saripan Pasifik, Jakarta,(19/12).
Hadiri sebagai pembicara KADIN BATAM Ampuang Situmeang, The Habibie Center (Umar Juoro), Ombudsman (La Ode Ida ), Ahli Hukum Negara ( Imam Putra Sidin). Direktur Eksekutif INDEF (Enny Sri Hartati). Pengamat Kebijakan Publik ( Danang Girindrawardana).
Kota Batam merupakan salah satu kawasan strategis yang dimiliki Indonesia. Berjarak hanya 20 Km dari Singapura, Batam dinilai mampu menandingi negara tersebut sebagai bagian rantai produksi dan logistik global serta menjadi pusat ekonomi ASEAN.
Namun, permasalahan untuk menjadi kota strategis dengan segudang industri menghadapi persoalan pelik. Dualisme kepemimpinan antara Pemerintah Kota (Pemkot) Batam dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam memberikan dampak buruk terhadap aktivitas ekonomi yang berlangsung di kota tersebut. Kewenangan otorita BP Batam dalam mengatur bisnis mulai melemah, di saat bersamaan Pemkot Batam mulai mengatur sektor ekonomi di wilayah ini. Kondisi ini membuat investor menjadi enggan untuk berinvestasi di kota ini.
Permasalahan dua lisme tersebut direspon oleh Presiden Republik Indonesia. Untuk mengatasinya, Presiden bersama dengan Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian, memutuskan untuk meleburkan BP Batam dengan Pemkot Batam dan menjadikan Walikota Batam sebagai ex-omcio BP Batam.
Keputusan ini dinilai tidak sejalan dengan cita-cita Batam ke depan sebagai salah satu penggerak perekonomian nasional.
Selain dinilai menyalahi aturan yang ada, keputusan ini berpotensi memperburuk iklim investasi yang saat ini sudah menurun di Batam.
Berdasarkan permasalahan tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sebagai lembaga riset mandiri dan independen mengadakan diskusi publik dengan tajuk, ”Menakar Masa Depan Batam Pasca Pengalihan BP Batam”. Adapun poin-poin pandangan INDEF sebagai berikut.
1. Pemerintah perlu mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai kondisi masalah yang sebenamya terjadi di Batam.
Keputusan untuk mengalihkan BP Batam ke Pemkot Batam menunjukkan bahwa pemerintah hanya ingin segera mengakhiri persoalan dualisme kelembagaan. Padahal permasalahan di Batam bukan semata-mata karena dualisme kelembagaan. Selain itu, mengakhiri dualisme dengan cara pengalihan BP Batam dinilai sebagai cara yang keliru.
Pemerintah belum mendapatkan gambaran yang baik dan utuh tentang asal muasal penyebab penurunan kinerja FTZ dari sisi industri dan perdagangan serta pelemahan kewenangan otoritas FTZ.
Mengambil keputusan tanpa memiliki peta situasi nyata dan gambaran yang lengkap akan membuat ketidak efektifan dalam keputusan tersebut.
2. Penunjukan Walikota sebagal Ex-Officio 8P Batam sebagai bentuk tidak terpenuhinya asas pemerintahan yang baik (good government and good governance).
Secara legal standing, Walikota Batam merangkap jabatan sebagai Kepala BP Batam melanggar UU No.23 /2014 tentang Pemerintahan Daerah karena Kepala Daerah tidak boleh rangkap jabatan.
Dari perspektif anggaran, rangkap jabatan Walikota dan Kepala BP Batam tidak diperbolehkan karena berpotensi munculnya konflik kepentingan anggaran dan tata kelola pemerintahan pusat dan daerah. lni akan menjadikan preseden buruk karena melanggar UU No 1 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Pada pasal 76 UU No.23/2014 Tentang Larangan Kepala Daerah merangkap jabatan mempunyai spirit agar pejabat daerah tidak menghadapi konflik kepentingan (conflict of interest). Selain itu UU tersebut juga mempunyai spirit agar kepala daerah fokus mengurus tupoksi utamanya
Dari sisi ekonomi terdapat potensi abuse of power baik untuk kepentingan bisnis/ekonomi atau kepentingan politik oleh walikota yang nota bene adalah pejabat politik.
3. Rencana Pengalihan BP Batam ke Pemkot Batam semakin meningkatkan ketidakpastian bagi dunia usaha
Ketidakpastian akan cenderung meningkat pasca pengalihan BP Batam. Hal ini terkait dengan dengan kepastian regulasi, peraturan, lahan, infrastruktur hingga kepastian insentif bagi investor.
Investor yang mendapatkan ketidakpastian tentu Iebih memilih untuk melakukan relokasi ke daerah lain, terlebih ada negara tetangga yang menawarkan berbagai daya tarik dan kepastian berusaha.
4. Dualisme Kelembagaan diduga merupakan penyebab utama penurunan kinerja lndustri dan investasi di Batam.
Dualisme sebenarnya dapat diselesai kan dengan cara sederhana. Dalam UU No.53/1999 Tentang Pembentukan Kota Batam, pada ayat 21 huruf c, sudah sangat jelas memberikan amanat kepada Pemerintah untuk segera membuat Peraturan Pemerintah tentang pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam (cq. BP Batam).
Namun Pemerintah Pusat bukannya segera melaksanakan amanat UU tersebut, malah mengusulkan solusi yang tidak diamanatkan oleh UU No.53/ 1999, yaitu: 1) Mengusulkan FTZ menjadi KEK, dan 2) Memutuskan Walikota sebagai Kepala BP Batam ex-officio. lnilah akibat informasi yang misleading yang diterima pemerintah pusat sehingga masalah dualisme kian berlarut.
5. ”Pengkerdilan” Kewenangan pengelola FTZ Batam sehingga tidak mampu melaksanakan keputusan strategis dan besar dalam hal kebijakan perizinan.
Akar masalah lain yang menjadi penyebab penurunan daya saing FTZ Batam adalah karena terjadinya penggerusan kewenangan oleh Pemerintah pusat dan Daerah terhadap FTZ Batam.
Kewenangan FIZ Batam didowngrade sehingga tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam mengatur proses bisnis, kebijakan perizinan dan keputusan besar Iainnya.
6. Terdapat korelasi yang kuat antara periode penurunan kinerja ekonomi di Batam dengan periode keterlibatan pemerintah daerah Batam.
Penurunan kinerja ekonomi di Batam sebesarnya terjadi setelah Pemprop dan Pemko dalam ikut mengatur sektor ekonomi, investasi, industri di batam.
Dengan keikutsertaan Pemerintah Daerah, tentunya kewenangan Otorita menjadi Badan Pengusahaan (BP) Batam melemah. Infrastruktur utama seperti Lahan, Tata Ruang, Airport, Seaport, Industrial Park telah luput untuk dire-design mengikuti perubahan demand of global supply chain.
Dampaknya, Batam tidak menjadi bagian dari ”ASEAN common production base” dan tidak menjadi bagian dari ”rantai produksi & logistik global”.
7. FTZ harus diperkuat dan dikelola oleh lembaga professional di bawah Presiden.
Tugas dan peran utama BP Batam adalah melakukan persaingan dengan negara lain, jika diturunkan dan ditangani pejabat level daerah akan berpotensi justru menurunkan daya saing Batam.
FTZ Batam dibentuk melalui Undang-undang. Maka Jlka F12 Batam dibentuk melalui UU, pejabat yang menjadi Kepala Badan Pengusahaan (Ka BP) FTZ Batam otomatis adalah Pejabat Negara. BP Batam yang menguasai begitu banyak aset harus dijauhkan dari kepentingan politik
Jika FTZ Batam dipimpin oleh pejabat di struktur politik, maka iklim investasi dan usaha di FTZ Batam akan sangat rawan terhadap konflik kepentingan (conflict of interest). Hal ini sudah terbukti dalam periode 2000 sampai 2015, ketika di pimpin aktor politik, terjadi penurunan kinerja ekonomi Batam.
B. Perlu payung hukum untuk mengatur pembagian wewenang dan tugas antara Pemkot Batam dan 8P Batam
Perlu segera menyusun PP Hubungan Kerja Pemko Batam dan BP Batam sesuai UU 53 tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam.
Pembagian wilayah dan objek kerja antara Pemkot Batam dan BP Batam. Misalnya: hal – hal yang terkait dengan pemukiman dan pelayanan masyarakat diamanatkan ke Pemkot sementara tugas untuk menjalankan fungsi FTZ diamanatkan ke BP Batam.
Berikut pernyataan Dr. Ampuan Situmeang, SH, MH, Dewan Pakar Kadin Kota Batam dalam video Streaming.
https://youtu.be/ncO6_QKxHEI