• Ming. Apr 27th, 2025

Ego Sektoral, Bonus Demografi dan Indonesia Maju 2040

Byadmin

Nov 13, 2019

Oleh:
Reza Fahlevi (Direktur Eksekutif The Jakarta Institute)

Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang penting dalam rangka memperbaiki kesejah teraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing.

Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839). Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah[2] sehingga digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437).

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844).

Tujuan diberlakukannya UU Otonomi Daerah bertujuan baik agar daerah bisa mengembangkan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur,memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.

Tujuan yang sangat mulia tersebut tidak dibarengi dengan niat tulus dari masing-masing kepala daerah. Banyak kewenangan dan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Kesejahteraan masyarakat tidak berbanding lurus dengan uang yang dikeluarkan. Kebijakan yang dibuat daerah sering berbenturan dengan Pemerintah Pusat sehingga masih sangat terlihat *ego sektoral* dari setiap Kepala Daerah. Namun sikap ego sektoral juga bukan hanya di daerah tapi juga di Instansi Pemerintah Pusat masih belum satu visi dan misi.

Pada era Presiden Joko Widodo hal tersebut mulai disinkronkan sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan tidak terkesan jalan masing-masing. Setiap kebijakan dari Pusat wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah agar semua seirama baik itu instansi vertikal maupun yang horizontal.

Tetapi kita harus pahami itu bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Faktanya daerah masih bisa melakukan hal yang berlawanan dengan kebijakan Pusat. Semisal tentang Revisi UU no. 23 tahun 2014 atau tentang pemberlakuan UU No. 9 tahun 2015 tentang perubahan kedua UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah yang pokok bahasan membahas tentang perizinan Minerba atau sejenisnya.
Semula Kota/Kabupaten mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan. Setelah UU Otda direvisi maka kewenangan tersebut ditarik semuanya ke Provinsi. Dan daerah hanya kebagian Rekomendasi Teknis (Rekomtek) sebagai salah satu prasyarat untuk mengeluarkan IUP tersebut di Dinas ESDM dan bekerjasama dengan Dinas PTSP.

Tapi lagi-lagi daerah (Kota/Kabupaten) tidak mau kalah langkah dengan mengeluarkan beberapa Perda yang bisa menghalangi keluarnya IUP dengan pertimbangan demi melindungi yang menjadi kerugian bagi masyarakat. Namun faktanya kebijakan tersebut dikeluarkan karena kekecewaan daerah yang kini tak lagi mendapat kan bagian dalam pengurusan izin tersebut. Beberapa daerah menerbit kan Perda Moratorium Pemberian Rekomtek demi melindungi hak-hak dari masyarakat. Ini terjadi di Provinsi Jawa Timur khususnya Kabupaten Lumajang.

Kita belum lagi melihat ke sektor lainnya. Di Kementerian UKM dan Koperasi juga mengeluhkan hal serupa. Keengganan Daerah dalam menjalankan program dari pusat dan hanya menjalankan program daerah nya sendiri. Pada akhirnya harus mencari cara agar kebijakan Pusat bisa berjalan maksimal dengan diberikan stimulus atau reward dengan tujuan kebijakan Pusat bisa maksimal berjalan.

Melihat kondisi ini maka sangat dibutuhkan koordinasi yang baik dari masing-masing instansi agar berjalan seirama, berjalan ber iringan tanpa harus memunculkan ego sektoral yang merugikan bangsa dan negara. Hal inilah yang ber ulang kali Bapak Presiden keluhkan ketika memberikan ceramah dimana pun agar semua bekerjasama, menye derhanakan berbagai aturan/ kebijakan yang bisa menghambat berbagai investasi dan hilangkan ego sektoral.

Hal itu bisa dilihat dari lima prioritas kerja Pemerintahan Jokowi-KH. Ma’ruf Amin yang penekanannya ditujukan untuk lompatan-lompatan yang lebih produktif dengan penyederhanaan berbagai aspek mulai dari regulasi (omnibus law) dan pemangkasan jenjang eselon di birokrasi. Bukti kongkritnya, penunjukan sejumlah kalangan profesional di Kementerian seperti Mendikbud Nadiem Makarim yang merupakan pengusaha di bidang IT. Ia ditunjuk untuk menyederhanakan benang kusut di sistem pendidikan nasional dengan memanfaatkan lompatan teknologi. Kemudian ada Mendagri Jenderal Polisi H. M. Tito Karnavian, Ph.D yang sukses menjadikan Polri profesional dan terpercaya dengan membangun sistem yang akuntabel dan terintegritas dalam melayani masyarakat di bidang ketertiban umum serta pelayanan yang berurusan dengan birokrasi di Kepolisian.

Selain itu ada nama Wishnu Utama yang ditunjuk menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang selama ini berkibar di industri media. Terobosan dan kreativitasnya dalam dunia profesional yang diharapkan Presiden Jokowi bisa ditransfor masikan dalam dunia birokrasi Kementerian yang identik dengan sistem yang berbelit-belit dan sarat dengan tumpang tindih aturan serta ego sektoral yang tinggi di antara instansi.

Ini bukti kita belum satu visi dan misi sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Antar lembaga masih saling kunci, saling menghambat.

Kita punya kesempatan yang sangat besar dengan adanya Bonus Demografi. Usia produktif sangat berlimpah dan mencapai total 64 % dari perkiraan jumlah penduduk yang akan mencapai 290 juta pada puncaknya tahun 2030-2040. Apakah Indonesia bisa seperti Jepang yang pada tahun 1950 juga mendapatkan berkah bonus demografi dan pada tahun 1970 Negara Jepang berhasil menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Jangan sampai Bonus Demografi menjadi Bencana karena kita salah mengelolanya dengan baik. Ini kesempatan emas dan Indonesia punya peluang untuk melakukan lompatan besar menjadi negara maju.

Kemendagri, Kemenpan RB punya tugas khusus untuk selalu mengingatkan Aparaturnya baik di Pusat maupun di daerah agar bisa bekerjasama dengan baik dalam lintas sektor. Program Nawa Cita harus terus digaungkan agar semua bergerak beriringan, bergandengan tangan, buang perbedaan dan menatap Indonesia Maju tahun 2040, semoga.

By admin

slot malaysia

slot thailand