Laporan : Lemens Kodongan
Jakarta, eksposenews – Mafia tanah yang selama ini dikenal masyarakat adalah seseorang atau suatu kelompok yang bernaung dibawah bendera organisasi atau perusahaan yang melakukan kegiatan kejahatan. Namun berdasarkan analisis dan data berbagai kasus, utamanya masalah pertanahan. Justru terungkap dalam kegiatannya, bahwa otak mafia tanahnya sesungguhnya adalah pihak pemerintah, dan adanya di Mahkamah Agung.
Pernyataan tersebut diungkap Manahan Sihombing, SH dan Mangalaban Silaban, SH selaku kuasa hukum ahli waris Sugiono dalam sebuah jumpa pers yang dilaksanakan pada hari Sabtu, (19/1/21019) di Hotel Falatehan Jakarta.
Para Mafia tanah bersinergi dalam kepentingan bersama, sesungguhnya ada dalam jaringan di tubuh institusi Kelurahan, Camat, BPN, Pengadilan, MA, dan perusahaan pengembang perumahan serta melibatkan institusi TNI baik secara kelembagaan maupun perorangan.
Manahan Sihombing menceritakan secara gamblang bagaimana kasus perampasan tanah milik kliennya, oleh pihak institusi TNI bersama sebuah perusahaan pengembang perumahan dengan didukung pihak Mahkamah Agung.
Status tanah Grant Sultan Deli, Medan, telah melibatkan Mantan Ketua Mahkamah Agung RI. (Sarwata. SH ), yang bertindak sebagai ketua majelis hakim dalam perkara penemuan kembali (PK) No. 27 PK/TUN 1997 tanggal 26-06-1997. Dengan sengaja telah melanggar hukum acara yang di atur dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Yang menyatakan, ‘Seorang Hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang Ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung.
Adapun kepentingan (objek perkara) yang terkait secara langsung dengan mantan Ketua Mahkamah Agung tersebut adalah Surat Keputusan (SK) Dirjen Agraria No.78/HP/DA187. yang diterbitkan oleh Sarwata, SH, pada saat menjabat Direktur Jenderal Agraria yang kemudian dikenal sebagai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat.
Dari cerita kronologis masalah yang disampaikan, bahwa telah terjadi ” Perampasan” tanah yang dilakukan oleh TNl-AU Polonia Medan, ujar Manahan.
Dengan alasan perluasan Pangkalan Udara TNI-AU Polonia Medan, melalui Surat Keputusan No.1IHPUDA/70 tanggal 3 Februari 1970, Dirjen Agraria mengabulkan permohonan Panglima Komando wilayah Udara (Pangkowilu) l Medan tentang pembenahan tanah hak pengelolaan (HPL) seluas 1. 379. 659. 50 m2 di atas tanah yang terletak di Kecamatan Medan Baru. Kotamadya Medan.
Dalam hal ini termasuk tanah Adat (Grad Sultan No.1 Th.1935 seluas 35 Ha dengan syarat antara lain, Jika ternyata ada pihak lain yang dapat membuktikan hak miliknya atas tanah tersebut maka pihak AURI harus bersedia membayar ganti rugi kepada yang bersangkutan;
Penerima hak pengelolaan wajib mengembalikan hak pengelolahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian,apabila tidak dipergunakan lagi untuk keperluan pangkalan Angkatan Udara Medan;
Ternyata, permintaan tanah oleh Pangkowilu l Medan dengan alasan ‘perluasan Pangkalan Udara Polonia Medan’ hanyalah kebohongan semata. Sebab sebagian dari tanah HPL tersebut (dalam hal ini tanah Adat Grant Sultan (GS.1/2935) an. Datuk Muhamad Cheer seluas 219.506 m2) diberikan kepada PT. Surya Dirgantara berdasarkan Skep. Pangkowilu I Medan No.019/B/Vl/74 tanggal 1 Juni 1974.
Akibat pengalihan tanah hak pengelolaan yang di lakukan berdasarkan Skep No.019/B/Vl/74, Dirjen Agraria melalui Surat Keputusan No.150/DJA/82 tanggal 8 September 1982 membatalkan tanah hak pengelolaan (HPL) Pangkowilu I Medan tersebut, dengan ketentuan antara lain:
Mempersilahkan Pangkowilu I Medan untuk mengajukan permohonan Hak Pakai dengan syarat:Tanah yang diberikan harus bebas dari adanya hak-hak pihak ketiga yang ada di atasnya; dan bagian tanah yang terdapat hak-hak pihak ketiga dan secara objektif tidak diperlukan sebagai wilayah pangkalan Angkatan Udara, akan dikeluarkan dari pemberian Hak Pakai.
Pada saat SARWATA. S H menjabat Dirjen Agraria sebagian dari tanah hak pengelolaan (tanah adat/ Grant Sultan no 1/ 1935 ) yang telah di batalkan tersebut di atas, di berikan kepada yayasan TNI -AU Adi Upaya (YASAU) berdasarkan Surat Keputusan No 78/ HP/ DA/87 tanggal 25 Agustus 1987 yang isinya antara lain. Memberikan tanah Hak pakai Seluas 201. 000m2 kepada yayasan kepada YASAU tersebut adalah tanah Negara.
Hanya dalam waktu 1 satu tahun setelah YASAU memperoleh Hak Pakai No 194/ Polonia di atas eks Adat (Grant Sultan no 1/1935) tanah tersebut di jual kepada developer PT Taman Malibu Indah seharga RP 5. 628.000.000 (lima milyar enam ratus dua puluh delapan juta rupiah).dan selanjutnya terbit Hak Guna Bangunan No.1/1990 atas nama PT. Taman Malibu Indah.
Untuk perbuatan jual beli di atas tanah eks tanah Adat tersebut, mempertegas apa sesungguhnya latar belakang dari pengambilan tanah masyarakat dengan alasan ‘perluasan Pangkalan Udara Polonia Medan“. bukan untuk kepentingan Negara tetapi untuk menguntungkan oknum-oknum tertentu TNl-AU Pangkalan Udara Polonia Medan.
Terhadap perbuatan TNl-AU Pangkalan Udara Polonia Medan yang mengalih kan dan menjual tanah Adat yang awalnya ditujukan untuk perluasan Pangkalan Udara Polonia Medan tersebut, para ahliwaris Dt. M. Cheer yang dapat membuktikan kepemilikannya menggugat Badan Pertanahan Nasional, TNI-AU Polonia Medan, PT. Taman Malibu Indah di Peradilan Tata Usaha Negara.
Di tingkat kasasi. melalui putusan No. 56 K/TUN/1996, SK Dirjen Agraria No-78/HP/DA/87 yang diterbitkan oleh Sarwata, SH. sebagai dasar pengambilan dan penjualan eks tanah adat milik Dt.M. Cheer dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Termasuk HGB No.1/1990 atas nama PT. Taman Malibu Indah.
Terhentak oleh putusan kasasi No. 56 K/TUN/1996 di atas, Sarwata SH, Prajurit TNl-AU yang dikaryakan sebagai Dirjen Agraria dan Ketua Mahkamah Agung, sengaja bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim Peninjauan Kembali No. 27 PK/TUN/1997 demi membatalkan putusan kasasi No. 56 K/TUN/1996, sekalipun hukum melarangnya.
Untuk pelanggaran hukum yang berkatagori KEJAHATAN HUKUM tersebut di atas, Mahkamah Agung sengaja tidak menggubris segala upaya hukum yang’ telah dilakukan oleh para ahli waris Dt. M. Cheer selama puluhan tahun.
Bila Ketua Mahkamah Agung sekarang ini (Dr. M. Hatta Ali, SH.,MH) membiarkan kejahatan yang di lakukan oleh mantan Ketua Mahkamah Agung Sarwata, SH. terpendam dan membusuk melalui putusan No. 27 PK/TUN/1997, berarti Ketua Mahkamah Agung Dr. M. Hatta Ali, SH.,MH. sengaja memelihara dan mewariskan kejahatan dan kebusukan hukum di Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi Peradilan.
Berikut pernyataan Manahan Sihombing dalam video streaming saat jumpa pers.