Jakarta,Kamis 21 November, CSIS – Dalam rangka mengevaluasi dan meningkatkan kualitas serta integritas pemilu di Indonesia, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) hari ini menggelar seminar publik dan rilis hasil penelitian yang berjudul “Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas dan Berintegritas”. Penelitian yang berlangsung dari bulan Juli sampai Oktober 2024 ini mengidentifikasi beberapa hal penting yang dapat memengaruhi pelaksanaan pemilu yang berkualitas dan berintegritas, di antaranya pentingnya keberadaan penyelenggara pemilu yang mandiri dan independen, penggunaan sistem berbasis teknologi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, sistem peradilan pemilu yang adil dan imparsial, serta keterlibatan aktif masyarakat sipil untuk mengawasi pelaksanaan pemilu.
Penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan berintegritas tidak bisa menjadi beban oleh penyelenggara saja, akan tetapi dibutuhkan suatu ekosistem kebijakan kepemiluan yang setara, adil, transparan dan efektif. Ekosistem kebijakan tersebut merupakan satu-kesatuan dari unsur pemerintah, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), lembaga penegak hukum (Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Polri), peserta pemilu (partai politik dan para kandidat), serta komponen masyarakat sipil, universitas dan media massa. Sementara itu, ekosistem pemangku kebijakan pemilu harus memastikan adanya partisipasi publik dalam merancang kebijakan pemilu untuk memenuhi asas pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil. Selain itu, desain pelaksanaan pemilu juga harus memperkuat dukungan publik terhadap demokrasi, terbentuknya pemerintahan yang transparan dan akuntabel, serta terwakilinya kepentingan-kepentingan masyarakat dalam lembaga perwakilan.
Pemilu 14 Februari 2024, menunjukkan adanya pencapaian yang baik dari penyelenggara pemilu, meskipun cukup banyak hal yang harus dibenahi dan diperbaiki. Dalam situasi tersebut, masyarakat diuntungkan karena demokrasi Indonesia masih resilient. Hal ini ditandai dengan peran aktif masyarakat dalam mendorong perubahan pelaksanaan pemilu dengan membuat inisiatif-inisiatif baru untuk memastikan bahwa hak publik untuk memilih tidak hilang. Demikian halnya dalam keterlibatan untuk mengawasi penghitungan suara hasil pemilu. Namun demikian, itu saja tentu belum cukup. Masih dibutuhkan adanya regulasi dan peraturan yang memberikan jaminan bahwa pemilu dapat berlangsung secara demokratis, berkualitas dan berintegritas.
Sesi Pertama: Pemaparan Tim Peneliti
Arya Fernandes menyoroti lima aspek penting dalam kualitas, tata kelola, dan isu strategis dalam Revisi UU Pemilu. Pertama, sistem pemilu yang dipilih harus memperkuat pelembagaan partai politik, serta menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas. Kedua, penerapan ambang batas parlemen yang moderat dapat menciptakan kontestasi antar-partai yang setara dan mengurangi terjadinya fragmentasi politik tinggi di tingkat pusat dan daerah. Ketiga, keserentakan pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu legislatif perlu dievaluasi, karena cenderung mengurangi esensi pemilihan legislatif dibandingkan pemilihan presiden. Keempat, tim seleksi KPU/D harus terdiri dari ahli independen yang bebas dari afiliasi politik dan konflik kepentingan dengan petahana atau partai. Kelima, desentralisasi pemilihan calon anggota KPU Kabupaten/Kota dengan memberikan kewenangan bagi KPU Provinsi untuk membentuk tim seleksi hingga memilih dan menetapkan anggota KPU Kabupaten/Kota seperti yang pernah diterapkan
sebelumnya. Ia juga menekankan pentingnya Revisi UU Pemilu dengan mempertimbangkan tiga hal berikut:
1. Pilihan sistem pemilu dengan proporsional terbuka, proporsional tertutup, atau sistem pemilu campuran. Saat ini juga mulai berkembang gagasan lain untuk mulai mendiskusikan penggunaan sistem pemilu campuran.
2. Penghitungan ambang batas parlemen yang moderat karena dengan mengurangi ambang batas ke titik terendah, akan berimplikasi pada tingginya fragmentasi partai politik di parlemen. Isu lainnya yang bisa didiskusikan adalah menerapkan kembali ambang batas parlemen di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tidak diterapkannya ambang batas di daerah menciptakan sistem multipartai ekstrem dan fragmentasi politik yang tinggi.
3. Pilihan model keserentakan pemilu, untuk memisahkan pemilihan presiden dan legislatif. Pemisahan tersebut tidak hanya dapat mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu, tetapi juga dapat membuat pemilih memberikan perhatian pada kampanye dan program partai dan calon.
Nurul Amalia Salabi membahas pada aspek teknologi pemilu dan gangguan informasi. Teknologi pemilu yang digunakan belum sepenuhnya berhasil meningkatkan kualitas Pemilu 2024. Mayoritas teknologi informasi yang dikembangkan KPU lebih berorientasi pada pelayanan kepada peserta pemilu, dibandingkan pemilih dan memenuhi hak publik atas informasi pemilu. Kinerja teknologi pemilu pada Pemilu 2024 mengalami penurunan, khususnya pada kualitas keterbukaan data dan informasi yang melemah. Tercatat juga beberapa insiden pada teknologi pemilu, yang tidak menguntungkan pemilih hingga kebocoran data pribadi pemilih terjadi pada November 2023. Selain itu, data hasil verifikasi faktual pendaftaran partai politik juga tidak dapat diakses dan sekitar 30 persen data caleg di Silon juga tidak dapat diakses publik karena caleg yang tidak bersedia untuk mempublikasikan datanya. Puncaknya, pada 5 Maret 2024, situs web KPU Sirekap berhenti menampilkan data grafik hasil pemilu secara rinci. Berbagai gangguan informasi, ujaran kebencian, hingga disinformasi juga terjadi selama Pemilu 2024 meskipun tidak sebesar pemilu sebelumnya.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan teknologi pemilu dan menjaga ketahanan informasi pemilu, maka direkomendasikan beberapa hal. Untuk teknologi pemilu yakni sebagai berikut: (1) regulasi dan sistem keamanan siber dan data di lingkungan penyelenggara pemilu, (2) penerapan disiplin siber dan pemeriksaan keamanan siber secara berkala, (3) uji coba bertahap Sirekap menuju e-rekap. Sementara itu, untuk ketahanan informasi pemilu, revisi UU Pemilu yang mampu meningkatkan akuntabilitas kampanye pemilu di media sosial dibutuhkan.
Nicky Fahrizal menekankan pada aspek konstitusi, demokrasi, dan regulasi pemilu. Berdasarkan evaluasi Pemilu 2024, diperlukan dua langkah utama: pertama, revisi UU Pemilu untuk mendefinisikan masa pradan pasca-pemilu secara lebih jelas, kedua, pembentukan UU Lembaga Kepresidenan guna mengatur perilaku presiden, terutama dalam situasi politik yang rawan. Di sisi lain, lembaga yudikatif perlu dipandang sebagai lembaga politik karena keputusannya yang semakin aktif membentuk kebijakan. Terakhir, institusi seperti MKMK, DKPP, Bawaslu, serta Ombudsman perlu diperkuat sebagai pilar etika politik dan publik.
Vidhyandika D. Perkasa menggarisbawahi pada peran masyarakat sipil dalam Pemilu 2024. Kelompok masyarakat sipil yang diteliti tampak setia membangun engagement dengan penyelenggara pemilu yang sedang menjabat dan aktor lain dalam ekosistem pemilu. Hal ini positif karena di satu sisi dengan adanya “kolaborasi” ini ada harapan penyelenggara pemilu tetap dapat bersikap profesional menjaga integritas pemilu demi mendukung demokrasi yang resilient. Selain itu, masyarakat sipil juga mempunyai peran untuk melindungi warga dari intimidasi dan kekerasan dalam pemilu, memfasilitasi resolusi konflik pasca-pemilu, memperkuat kepercayaan publik pada sistem elektoral, serta konsisten memperjuangkan nilai-nilai demokrasi. Hanya saja di sini tetap diperlukan sikap kritis, menghindari simplifikasi dan perlu melakukan demistifikasi yang melihat masyarakat sipil sebagai solusi universal khususnya dalam menjaga demokrasi melalui pemilu. Perlu observasi yang dalam untuk menganalisis dinamika peran masyarakat sipil dalam konteks pemilu. Masyarakat sipil itu kompleks, beragam dan terfragmentasi, meliputi organisasi-organisasi dengan berbagai tujuan dan perilaku. Bisa jadi “karakter” masyarakat sipil tidak mendukung nilai-nilai demokrasi dan justru mereka bersikap ‘uncivil’. Apalagi secara makro masyarakat sipil hidup dalam konteks politik yang sarat dengan gerakan sosial yang bersifat partisan, politik yang transaksional, horse-trading politics dan oligarki. Masyarakat sipil juga menghadapi tantangan secara mikro yang menyangkut kemampuannya “bertahan” atau bersikap resilient di tengah iklim demokrasi yang penuh tantangan ini, antara lain yang terkait dengan aspek pendanaan, sumber daya dan kapasitas, ego sektoral, sikap netral dan daya kritis dan jiwa aktivisme mereka.
Penutup
Seminar dan rilis hasil penelitian ini menegaskan pentingnya perbaikan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemilu untuk memastikan pemilu yang berkualitas dan berintegritas. Rekomendasi yang disampaikan, seperti revisi UU Pemilu, peningkatan transparansi teknologi pemilu, memperluas literasi digital dan politik, serta penguatan peran masyarakat sipil dan lembaga negara, menjadi langkah kunci untuk mewujudkan sistem pemilu yang lebih adil dan demokratis. Semua pihak, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, maupun masyarakat, diharapkan dapat bekerja sama untuk memperkuat integritas pemilu dan mendukung terciptanya demokrasi yang lebih resilient di Indonesia.
Tentang CSIS
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) adalah organisasi independen non-profit yang berfokus pada kajian kebijakan terkait isu-isu domestik dan internasional. CSIS didirikan pada tahun 1971. Misi kami adalah berkontribusi pada peningkatan pembuatan kebijakan melalui penelitian yang berorientasi pada kebijakan, dialog, dan diskursus publik. Misi ini didasarkan pada keyakinan bahwa perencanaan dan visi jangka panjang untuk Indonesia dan kawasan ini harus didasari oleh pemahaman mendalam tentang isu-isu ekonomi, politik, dan sosial, termasuk perkembangan regional dan internasional.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Florentina Dwiastuti
Asisten Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Email: ra.psc@esis.or.id