Emisi GRK Alamiah pada Lahan Gambut
eksposenews.com –Jakarta– 22 April 2021: Hasil litbang menunjukan emisi gas rumah kaca (GRK) alamiah terjadi pada
lahan gambut apapun tutupan lahannya. GRK yang teremisi kemudian diserap kembali oleh
tanaman yang ada di lahan tersebut.
Hasil litbang dan inovasi itu dipaparkan pada webinar seri ketiga Perkumpulan Masyarakat Gambut
Indonesia (HGI), Kamis (22/04/ 2021). Webinar itu merupakan pemanasan jelang Kongres HGI dan
Seminar Internasional bertajuk “Peatlands for Environment, Food, Fiber, Bio-energy and People”,
Oktober 2021.
Webinar dibuka oleh Kepala Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI KLHK) Agus Justianto. Dalam webinar ini penelitian yang ditampilkan diantaranya adalah tentang degradasi gambut, emisi GRK, kebakaran lahan dan masalah agronomi yang
dikaitkan dengan usaha peningkatan produktivitas lahan gambut.
Menurut Ketua Umum HGI Profesor Supiandi Sabiham, Indonesia sering dituduh hanya bisa merusak dan kurang mampu untuk memelihara gambut. Tetapi tuduhan tersebut kerap kurang tepat
atau bahkan tidak benar setelah dilakukan penelitian dengan baik.
“Isu-isu tersebut diharapkan dibahas secara komprehensif dan berimbang berdasarkan data empiris yang diperoleh dengan baik dan sahih, sehingga kita bisa menjawab tentang apa yang
diisukan oleh mereka dengan berlandaskan pada informasi berbasis sains,” katanya.
Salah satu penelitian menarik yang dipaparkan dalam webinar ini adalah tentang keseimbangan antara penyerapan dan pelepasan metana (CH4) pada gambut yang dipaparkan Dr. Sofyan
Kurnianto, dari PT RAPP.
Sofyan menuturkan, penelitian untuk mengukur net exchange CH4 (NEE-CH4) dilakukan di Semenanjung Kampar, Riau, dengan menggunakan teknik Eddy Covariance.
Penelitian ini dilakukan pada dua tipe lahan hutan alam dan hutan tanaman (Acacia crassicarpa).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa hutan alam dan hutan tanaman pada lahan gambut tropis merupakan sumber NEE-CH4 ke atmosfer. “NEE-CH4 di hutan alam sekitar dua kali lipat lebih besar dari hutan tanaman,” katanya.
Penelitian dengan teknik Eddy Covariance juga dilakukan untuk mengukur fluks CO2 di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak, Riau, mulai dari Maret 2019. Menurut Dr. Syaiful Anwar dari
IPB University penelitian dilakukan pada blok pertanaman kelapa sawit saat itu berumur 12-13 tahun.
Fluks CO2 adalah jumlah gas CO2 per luasan tertentu per satuan waktu. Perhitungan fluks CO2 menentukan perhitungan emisi GRK.
Dari penelitian yang dilakukan terungkap fluks CO2 dari permukaan gambut lebih banyak dari respirasi akar (respirasi autotrof) dibandingkan dari dekomposisi gambut (respirasi heterotrof).
Fluks CO2 dari respirasi akar dipengaruhi oleh tinggi muka air tanah (TMAT) dan curah hujan. Fluks
menurun jika TMAT dan curah hujan naik. “Fluks dari dekomposisi gambut relatif konstan sepanjang tahun,” kata Syaiful.
Sementara fluks CO2 dari respirasi akar seluruhnya diserap kembali oleh vegetasi pada pertanaman kelapa sawit melalui proses fotosintesis. Sebagian kecil CO2 yang diserap berasal dari dekomposisi
gambut.
“Hanya sebagian dari total fluks CO2 dari permukaan gambut yang diemisikan ke atmosfir,” katanya.
Kepala Balai Penelitian Lahan Rawa Kementerian Pertanian Dr Yiyi Sulaeman menyatakan lahan gambut bongkor (LGB) atau lahan gambut yang telah mengalami degradasi parah masih bisa dimanfaatkan untuk pertanian padi dan tanaman ramah gambut.
“Pemanfaatan lahan gambut bongkor bisa meningkatkan ketahanan pangan, menekan emisi GRK, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Yiyi memapatkan hasil uji pertanian padi yang dilakukan di Talio Hulu Pulang Pisang Kalimantan Tengah. Kuncinya adalah persiapan lahan tanpa bakar, pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan, pemilihan varietas dan cara tanam, serta pengendalian organisme penggangu.
Hasil uji yang dilakukan menghasilkan produksi padi rata-rata 3,26 ton per hektare dengan varietas
yang digunakan Inpari.
Koordinator International Tropical Peatland Center (ITPC) Profesor Haruni Krisnawati menyatakan hasil penelitian peneliti Indonesia bisa berbagi pengetahuan dengan peneliti internasional melalui
ITPC.
“Dengan ITPC para pemangku kebijakan, termasuk praktisi dan masyarakat, dapat mengakses informasi dan pengetahuan yang baik, kredibel dan valid, yang diperlukan dalam mendesain dan
melaksanakan upaya konservasi dan pengelolaan lahan gambut tropis secara berkelanjutan,” katanya.
(Lemens)