• Ming. Mei 18th, 2025

“Mengapa Pancasila menjadi Ideologi Bangsa dan Negara? Bagaimana Mengembangkan Model Terapan Pancasila sebagai Ideologi?”

Byadmin

Mar 15, 2021

“Mengapa Pancasila menjadi Ideologi Bangsa dan Negara? Bagaimana Mengembangkan Model Terapan Pancasila sebagai Ideologi?”

Jakarta, eksposenews.com| 27 Februari 2021, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Pembumian Pancasila melaksanakan Diskursus Ideologi Angkatan II Sub Tema 2, Topik 3 (Serial 6) “Mengapa Pancasila menjadi Ideologi Bangsa dan Negara? Bagaimana Mengembangkan Model Terapan Pancasila sebagai Ideologi?” dengan menghadirkan : Ketua Dewan Pembina DPP GPP sekaligus Wakil Kepala BPIP-RI Prof. Dr. Hariyono, M.Pd dan Ketua Dewan Pakar DPP GPP sekaligus Komisioner KPPU-RI Dr. Drs. Chandra Setiawan, M.M., Ph.D.

Prof. Dr. Hariyono, M.Pd sebagai narasumber pertama menyampaikan mengenai aktualisasi Pancasila karena pada hakikatnya sebuah ideologi adalah upaya manusia untuk menggapai tatanan yang ideal.

Berdasarkan buku Alm. Roeslan Abdul Gani, di tahun 1955 menjelaskan maksud dari ideologi. Kalangan nasionalis masih meragukan apakah Pancasila itu merupakan ideologi negara atau bukan dengan alasan bahwasanya Bung Karno tidak pernah menyatakan Pancasila sebagai sebuah ideologi. “Jika kita ungkap dan baca dengan detail Bung Karno juga beberapa kali menggunakan istilah ideologi di dalam buku pengantar “Tjamkan Pancasila”, dimana jelas bahwa Pancasila disebut sebagai sebuah ideologi. Demikian pula Bung Karno berpidato dalam manipol usdek menyatakan bahwa ideologi yang progresif itu adalah ideologi Pancasila dan UUD 1945. Selain itu Bung Karno berpidato dan menyatakan bahwa Pancasila merupakan ideologi yang mencerminkan sublimasi yang lebih baik dibandingkan Marxisme dan Kapitalisme” ujar Prof. Hariyono yang juga adalah Ketua Dewan Pembina DPP GPP.

Wakil Kepala BPIP-RI mengungkapkan bahwa kita tidak perlu lagi mendebatkan Pancasila apakah layak sebagai ideologi negara atau tidak, sebab jika kita masih meragukannya, lalu bagaimana kita dapat mengaktualisasikannya?. Kemudian ia mejelaskan poin kedua yaitu yang menyebutkan Pancasila sebagai ideologi adalah Ketua BPUPK dr. Radjiman Wedyodiningrat, kemudian di tahun 1950 Ki Hajar Dewantara juga menulis buku Pancasila sebagai ideologi, dan Pak Roeslan Abdul Gani juga berkali-kali memperjuangkan dan memposisikan Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa. Pancasila sebagai ideologi negara adalah sebuah nilai yang menjadi pedoman bagi seluruh warga Indonesia sehingga mewajibkan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Permasalahan yang dihadapi bahwa tidak semua penyelenggara negara memiliki kepentingan dan alasan masuk sebagai penyelenggara negara untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila, karena penyelenggara negara tidak hidup di dalam ruang yang kosong, mereka hidup dan berinteraksi dengan elemen-elemen masyarakat baik itu di dalam ataupun di luar Indonesia. Kepentingan-kepentingan global maupun nasional itu juga ikut memengaruhi kebijakan-kebijakan negara, maka dalam penerapannya kita tidak bisa melihat pemerintah dalam tataran yang monolit (?), ungkap Prof Hariyono.

Lebih jauh Prof. Hariyono menuturkan banyak anak-anak muda yang menuntut pemerintah agar berjalan dengan baik dan bersih, namun faktanya yang bersangkutan setelah menjadi penyelenggara negara bahkan tidak memiliki integritas dan moralitas, sehingga banyak yang terjebak dalam korupsi. Ini menunjukkan dalam tataran aktualisasi bahwa terdapat kemungkinan cara berpikir masyarakat lebih menuntut orang lain menjadi Pancasilais, sehingga ketika orang lain itu menjadi penyelenggara negara atau pemengang kekuasaan dikritik keras, tetapi tidak ada upaya menjadikan Pancasila sebagai sebuah nilai dan pedoman hidup bagi pribadi masyarakat itu sendiri. Melihat hal itu, seolah-olah Pancasila itu hanya akan menjadi pertarungan antara mereka yang memegang kekuasaan dan mereka yang berada di luar kekuasaan.

“Justru di dalam penyelenggaraan negara ini lah  aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang paling dominan  adalah pada kebijakan negara terutama pada perbuatan peraturan perundang-undangan serta penegakannya. Karena dalam konsep neo-imperialisme, negara-negara yang ingin mengeksploitasi negara-negara lain tidak akan datang langsung kepada negara yang bersangkutan melainkan menggunakan sarana kekuasaan yang sudah merdeka itu dengan logika peraturan-peraturan yang ada (structure adjustment program)” pungkas Hariyono.  

Aktualisasi Pancasila yang ada di masyarakat dapat tumbuh dan berkembang tanpa melalui proses dialog Pancasila secara verbal, tetapi problem. Maka aktualisasi Pancasila dalam tataran aktualisasi adalah bagian dari problematisasi yang menyelesaikan masalah. Bung Karno mampu berpidato pada tanggal 1 Juni itu karena ingin memecahkan masalah yaitu yang dilontarkan oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat “apa yang menjadi dasar negara ini?”. Pancasila bukan sekedar hasil konstruksi pikiran, melainkan relasi dialektis antara teori dengan praktik, sehingga Bung Karno dikenal sebagai penggali nilai-nilai Pancasila.

Dr. Drs. Chandra Setiawan menjadi narasumber kedua menyampaikan bahwa Pancasila sebagai ideologi, dipandang oleh Bung Karno, lebih memenuhi kebutuhan manusia dan lebih menyelamatkan manusia daripada Declaration of Independence-nya Amerika atau Manifesto Komunis. Declaration of Independence tidak mengandung Keadilan Sosial dan adapun Manifesto Komunis tidak mengandung Ketuhanan Yang Maha Esa .Oleh karena itu, Bung Karno menyebut Pancasila sebagai hogere optrekking  (peningkatan) daripada Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.

Sukarno menyebut Pancasila sebagai “Leitstar” bintang penuntun yang dinamis, yang dapat mengarahkan pergerakan bangsa ke depan. Pancasila juga memiliki signifikansi universal, dan bisa diterapkan secara internasional. Pancasila bukan hanya sebatas konsep ideologis, tetapi juga sebagai panduan praktis untuk bertindak. Pancasila adalah ideologi total yang bersifat terbuka yang membuka peluang bagi masukan dari berbagai alternatif pemikiran dan pengalaman bangsa lain serta penyesuaian dengan kondisi sosial dan tantangan zaman. Lima sila Pancasila mengantisipasi kemungkinan konflik sosial dari lima bentuk relasi sosial (sosial keagamaan, relasi internasional, relasi antaretnis/antar golongan), relasi politik-kepartaian, dan relasi ekonomi), ungkap Dr. Chandra Setiawan yang juga adalah Ketua Dewan Pakar DPP GPP.

Dr. Chandra menuturkan bangsa Indonesia berpancasila dalam Tri Prakara (Notonagoro), yaitu Pancasila Asas Kebudayaan, Pancasila Asas Religius dan Pancasila Asas Kenegaraan. Ketiga asas tersebut merupakan suatu entitas nilai dalam satu hubungan yang bersifat koheren, yaitu hubungan kausalitas. Ketiga asas tersebut pada hakikatnya merupakan unsur-unsur yang membentuk Pancasila.

Terdapat realitas-realitas tantangan Pancasila, salah satunya adalah sistem ekonomi secara tak terelakkan menghasilkan oligarki yang dapat dengan mudah mengubah kuasa kekayaan menjadi kuasa politik, dan mereka yang memiliki insentif kuat untuk melakukannya tak lain adalah demi mempertahankan kekayaan mereka. Selain itu, ekonomi sangat liberal. Dari UU No. 1 tahun 1967 hingga UU no. 25 tahun 2007 terlihat sangat jelas kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi, yang secara sistematis dan konsisten terus diarahkan pada kebebasan atau liberalisasi yang sebesar mungkin. Mekanisme pasar diperankan semakin besar, dan pada akhirnya Indonesia praktis tidak mengenal barang dan jasa publik, sehingga semakin jauh dengan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan ekonomi Indonesia dikendalikan oleh kekuatan korporasi AS, dengan dukungan sepenuhnya oleh pemerintah AS dan lembaga-lembaga internasional, pungkas Komisioner KPPU-RI.

Lebih jauh Dr. Chandra menjelaskan model penerapan Pancasila sebagai ideologi adalah menyeimbangkan antara pertumbuhan dan pemerataan, melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia. Orientasi perekonomian yang mengarah pada keadilan sosial. Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat. Kebijakan ekonomi yang dapat menjaga iklim persaingan yang sehat (fair), ada keberpihakan kepada UMKM, dan pembelaan yang lemah melalui Pemberian Jaminan Sosial.

Model penerapan Pancasila memerlukan ketaatan kenegaraan, yaitu:
Ketaatan hukum, yang terkandung dalam pasal 27 (1) UUD 1945, berdasarkan atas keadilan legal.

Ketaatan kesusilaan, berdasarkan atas sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Ketaatan Keagamaan, berdasarkan atas sila pertama, pasal 29 (1) UUD 1945, berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dalam alinea ketika Pembukaan UUD 1945.

Ketaatan mutlak atau kodrat, atas dasar bawaan kodrat dari organisasi hidup bersama dalam bentuk masyarakat, lebih-lebih dalam bentuk negara, organisasi hidup kesadaran dan berupa segala sesuatu yang dapat menjadi pengalaman manusia, baik pengalaman tentang penilaian hidup yang meliputi lingkungan hidup kebendaan, kerohanian, dan religius; lingkungan hidup sosial ekonomis, sosial politis, dan sosial-kultural.

Selanjutnya dalam sesi refleksi, discernment, diskusi, dan dialog, terdapat pengayaan pandangan dan pemikiran dari para peserta yang tampak antusias dalam pembelajaran ideologi serial 6 ini.

Pada bagian akhir kedua narasumber menegaskan kembali tentang alasan Pancasila menjadi ideologi bangsa dan negara, dan model terapan Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan negara. Untuk mengatasi masalah kesenjangan meningkatkan keadilan dan kemandirian ekonomi, serta memperjuangkan kepribadian dalam kebudayaan, menerapkan atau mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila sebagai problematisasi yang menyelesaikan masalah. 

Dr. Drs. Chandra Setiawan, MM., Ph.D menjabarkan salah satunya dalam memberikan solusi untuk mengatasi kesenjangan, meningkatkan keadilan dan kemandirian ekonomi serta memperjuangkan kepribadian dalam kebudayaan yaitu dengan cara melakukan pemerataan pembangunan (mengurangi kesenjangan), beralih dari paradigma ekonomi neo liberal ke sosialisme ekonomi Pancasila, perkuat nation & character building, nasionalisme, cinta tanah air secara tulus, merayakan kebhinnekaan dan meningkatkan persatuan sebagai bangsa, perkuat peran UMKM (pemberdayaan, pelibatan, dan perlindungan), dan sektor Pariwisata, serta Menentang imperialisme kebudayaan dan pemerintah harus melindungi dan menjamin berkembangnya kebudayaan nasional, dengan memaduhkan kecemerlangan lokal (local genius) dan visi perkembangan global.

Diskursus Ideologi II diikuti oleh peserta yang terdiri dari Dewan Pembina, Dewan Pakar dan Dewan Pengurus DPP GPP serta pengurus DPD GPP dan calon pengurus DPD GPP. Diskursus Ideologi II dibuka oleh Ketua Umum DPP GPP Dr. Antonius D. R Manurung, M.Si dan ditutup oleh Sekretaris Jendral Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum. (ADL)

By admin

slot malaysia

slot thailand