Laporan : Lemens Kodongan
Jakarta, eksposenews – Diskusi Fenomena dukungan Pejabat Publik & Kepala daerah terhadap petahana dan potensi pelanggaran pemilu yang dilaksanakan oleh Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif berlangsung di Warung Upnormal Coffe Roaster, Jln Wahid Hasyim no 56 Gondangdia Jakarta Pusat Rabu (26/9).
Hadir sebagai pembicara Sudirman Said, Rahmat Bagja (Komisioner Bawaslu ) dan Very Junaidi Direktur Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif.
Diskusi membahas topik berjudul Dukungan Pejabat Negara dan Kepala Daerah Kepada Petahan Serts Potensi Pelanggaran Pemilu.
Tahapan kampanye Pemilu 2019 di tandai dengan Deklarasi Damai (23/9) oleh penyelenggara pemilu dan seluruh peserta pemilu.
Kampanye akan berlangsung selama tujuh bulan, dimulai 23/9/2018 – 13/4/2019.
Saat ini muncul fenomena dukungan yang diberikan oleh pejabat publik dan kepala daerah kepada pasangan calon petahana.
Perihal dukung mendukung tentu tak jadi soal. Namun, keterlibatan pejabat publik dan kepala daerah tentu membuka potensi pelanggaran yang bergesekan langsung dengan posisi nya seperti netralitas, penggunaan fasilitas negara hingga kebijakan yang menguntungkan salah satu pihak.
Keadaan inilah yang mesti diantisipasi oleh penyelenggara pemilu melalui fungsi pengawasan.
Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif Setelah KPU menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden secara resmi, muncul beragam respon dukungan terhadap capres dan cawapres.
Tanpa terkecuali, para pejabat negara dan kepala daerah berbondong bondong menyatakan sikapnya mendukung Capres Petahana, Joko Widodo.
Atas dukungan itu, tentu menjadi pertanyaan, bolehkah pejabat negara dan kepala daerah menjadi tim sukses dan pendukung capres tertentu?
Dukungan kalangan istana sudah terlihat sejak proses pendaftaran, dimana sejumlah pejabat negara terlihat mendampingi Presiden Jokowi mendatangi KPU dalam pendaftaran.
Begitu juga, dalam rilis awal susunan tim sukses Pasangan Jokowi – Makruf pun terlihat sejumlah nama pejabat negara
didalamnya.
Bahkan disebutkan pula, kepala daerah yang didukung oleh partai politik pengusung
sebagai tim pemenangan.
Lebih jelas lagi, beberapa waktu lalu, 10 orang bupati dan walikota se- Sumatera Barat telah menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap petahana.
Atas fenomena itu, secara normatif tentu tidak ada larangan bagi pejabat negara dan kepala daerah untuk menyatakan dukungannya kepada pasangan calon presiden petahana, bahkan lawan politiknya.
Jangankan menyatakan dukungan, undang-undang pemilu pun memberikan ruang baginya untuk dilibatkan dalam proses kampanye.
Akan tetapi, yang menjadi perhatian serius atas sikap dukung mendukung itu adalah potensi tercederainya pemilu yang demokratis dan jurdil.
Potensi munculnya dugaan pelanggaran karena tidak diperhatikannya batasan batasan yang telah ditentukan dalam aturan main kepemiluan.
Aturan Main;
Undang-undang pemilu telah memberikan hak dan batasan batasan bagi pejabat negara dan
kepala daerah untuk turut serta dalam kampanye.
Bahkan bagi pejabat negara yang merupakan anggota partai politik diberikan hak untuk melakukan kampanye.
Sedangkan bagi pejabat negara yang bukan anggota partai politik, bisa berkampanye jika menjadi calon presiden,anggota tim atau tim pelaksana kampanye.
Seperti kalangan istana, menteri atau pejabat negara lainnya, bisa melakukan kampanye jika yang bersangkutan menjadi tim dan pelaksana kampanye.
Artinya, para pejabat negara dan kepala daerah itu harus patuh dan tunduk terhadap aturan main dalam pelaksanaan kampanye.
Misalnya, didaftarkan secara resmi sebagai anggota tim dan
pelaksana kampanye.
Mekanisme kampanye nya pun mesti mengikuti aturan yang berlaku sesuai bentuk dan jenis kampanye nya.
Selain mesti menjalani cuti diluar tanggungan negara, juga
dibolehkan hanya sehari dalam seminggu.
Dengan menyatakan dukungan nya, para pejabat negara, gubernur, bupati dan walikota, tidak serta merta boleh melakukan kampanye semaunya.
Pejabat negara dan kepala daerah itu, terikat oleh
larangan untuk tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya.
Fasilitas negara itu bisa dalam bentuk sarana mobilitas seperti kendaraan dinas pejabat negara, kendaraan dinas pegawai dan transportasi dinas lainnya.
Selain itu juga dilarang menggunakan fasilitas lainnya seperti gedung perkantoran,
rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah (pusat, propinsi dan kabupaten/kota), sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah serta fasilitas lainnya yang di biayai oleh APBN atau APBD.
Di kecuali kan bagi gedung atau fasilitas negara yang memang di sewakan untuk umum.
Selain larangan itu, penting juga bagi pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta kepala desa untuk tidak membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama kampanye, sebagaimana ketentuan pasal 282 UU pemilu.
Seperti kasus iklan keberhasilan pemerintah di bawah kepimpinanan presiden Jokowi dengan membangun jembatan dan bendungan.
Iklan ini maupun kebijakan sejenis lainnya yang di anggap menguntungkan salah satu pasangan calon presiden, bisa di anggap melanggar larangan ini.
Mungkin sebelum masa kampanye masih di anggap sebagai sosialisasi kebijakan pemerintah, akan tetapi konteks Sekarang, masuk dalam kategori pelanggaran kampanye pemilu. Khususnya membuat kebijakan yang menguntungkan pasangan calon tertentu.
Menyikapi sikap dukungan sejumlah pejabat negara dan kepala daerah kepada petahana, sesungguhnya merupakan informasi yang bagus.
Sejak awal sudah bisa di petakan aktor-aktor yang mungkin terlibat dalam proses kampanye, khusus pejabat negara dan para kepala daerah.
Mengingat aksi dukung mendukung ini, potensial melahirkan efek samping bagi proses pemilu yang jurdil dan setara.
Berangkat dari pengalaman pemilihan kepala daerah, prihal netralitas pejabat menjadi dalil dalam permohonan sengketa hasil pilkada.
Beberapa tindakan dan kebijakan selalu menjadi sorotan seperti kegiatan petahana mengganti pejabat, keterlibatan aparatur sipil negara dalam pemenangan, intimidasi dan ketertiban aparat desa, penggunaan fasilitas negara, mobil dinas dan kecurangan lainnya.
Keadaan inilah yang mesti diantisipasi oleh penyelenggara pemilu melalui fungsi pengawasan, ketika publik dan kepala daerah berbondong bondong mendukung sebelah pihak.
Bawaslu sudah bisa memetakan potensi karawan akan keterlibatan pejabat negara dan kepala daerah.
Bawaslu sudah bisa mengerah kan Bawaslu propinsi dan kabupaten/kaitannya untuk memberikan perhatian khusus potensi pelanggaran ini.
Berikut pernyataan Very Junaidi Direktur KODE.
https://youtu.be/wcQC35sH6pc